Jumat, 16 Mei 2014

Cerita Rakyat Masyarakat Myobo Kurudu

Awalnya di Kampung Mansior di Gunung Kaimoni, Ada sebuah pohon beringin yang sangat besar yang biasa disebut “Aironkuboi”, Ada satu keluarga yang hidup berdampingan dengan Seekor Burung Cenderawasih atau “Diuwo” dan Ular Jantan Berkepala Dua atau “Woisama”, kehidupan mereka sangat rukun dan sangat damai.

Satu keluarga tersebut tinggal dibawah pohon beringin atau Aironkuboi, dan cenderawaih diatas pohon tersebut, sedangkan ular berkepala dua mendiami pesisir tanjung yang disebut tanjung Mantuburi. Tanjung Mantuburi merupakan daerah ujung pesisir pantai dari pulau Kurudu yang berpasir sangat putih dan ditumbuhi banyak pohon cemara.

Pada suatu ketika, Burung Cenderawasih atau “diuwo” terbang dan menduduki ujung dahan pohon beringin atau “aironkuboi” tersebut dan memandang jauh ke bagian selatan dan timur yaitu sekitar wilayah tanah besar dan waropen kemudian terlintas dalam benaknya,

“kenapa disana ada tempat yang sangat luas, tetapi saya menetap dan tinggal di tempat yang sempit ini?”

Akhirnya Diuwo terbang meninggalkan Aironkuboi menuju wilayah Tanah Besar dan Waropen dengan membawa biji buah karsan (jenis jambu) yang banyak tumbuh Pulau Kurudu.

Ketika Diuwo berhasil terbang keluar dari Aironkuboi, gerak-geriknya telah dipantau oleh manusia yang hidup dibawah pohon beringin atau aironkuboi tersebut.

Pergilah manusia tersebut dan memberitahukan kepada ular berkepala dua yang hidup di tanjung Mantuburi sambil membawa daun anggrek tanah atau dalam bahasa Kurudu disebut “Mope Unggoi” untuk dirakit dan dijadikan sebuah perahu.

 “woisama..? Tidakkah kamu melihat diuwo telah terbang jauh kesana, mari kita susul dia dan mengajaknya pulang!”

Tetapi Woisama menjawab,

“kalau kita pergi,  siapa yang akan menjaga tempat kita ini?”

Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, tanpa sadar air laut telah pasang dan tiba-tiba satu keluarga tersebut yang rencananya ingin mengejar Diuwo berubah menjadi batu yang menyerupai payung. Batu itu disebut batu “Mandupnai” atau batu payung.

Sedangkan menurut perkembangan cerita, woisama dibunuh oleh seorang lelaki yang kemudian mendapat kutukan dan mati sedangkan salah satu anak lelaki tersebut lahir cacat, tingkah lakunya menyerupai diuwo atau burung cenderawaih yang kemudian meninggal menyusul ayahnya.

Repost, ditulis pada Jumat 16 Mei 2014
Sumber : Ibu.Tabita Samber/Airori

Fives Star Hotel Program For Staff Development Program 23 Bank Mandiri

Beberapa waktu lalu,   tepatnya Sabtu 03 2018. Saya dan beberapa Peserta SDP atau Staff Developent Program Angkatan 23 Bank Man...